Rabu, 22 Oktober 2014

MARTIN ALBROW DAN BIROKRASI


A.    SEKILAS TENTANG MARTIN ALBROW

Martin Albrow adalah seorang sosiolog, pensiunan guru besar dari University of Wales dan menjadi Dosen Tamu di Roehampton, Cambridge, LSE, Munich dan State University of New York. Buku yang pernah ditulisnya antara lain: Max Weber’s Construction of Social Theory, Do Organizations Have Feelings?, Sociology: the Basics, dan the prize-winning The Global Age. Dia pernah menjadi editor dari the Journal International Sociology, Presiden dari British Sociological Association, dan Kepala dari Panel Sosiologi di Pusat Penelitian Universitas-Universitas di Inggris. Hingga saat ini ia masih menjadi dosen tamu di Centre for the Study of Global Governance London School of Economics, dan ko-editor padaGlobal Civil Societ.
B.     DEFINISI BIROKRASI

Gagasan birokrasi lahir dari keprihatinan terhadap tempat yang seharusnya bagi pejabat dalam pemerintahan modern. Istilah birokrasi (buraeucracy) mulai diperkenalkan oleh de Gourney pada saat beliau menguraikan tentang bentuk pemerintahan yang keempat atau kelima, dari klasifikasi pemerintahan Yunani klasik. Birokrasi,menurut de Gourneyadalah suatu tipe pemerintahan lain, melengkapi tipe pemerintahan yang sudah ada, seperti monarki, aristokrasi, dan demokrasi.
Bureaucracymemiliki akar kata ”Bureau dan ”cracyBureaumenunjuk pada tempat para pejabat bekerja, sedangkan cracymerupakan turunan dari kata yunani yang berati mengatur (to rule).Terjadi pergeseran istilah dari Bureaucratie (prancis) menjadi menjadi Bureaukratie (Jerman), burocrazia (Italia), dan bureaucracy (inggris). Definisi birokrasi menurut Kamus Akademi Prancis 1798 : “Kekuasaan, pengaruh dari kepala dan staf biro pemerintahan”, menurut Kamus Bahasa Italia 1828  :“Kekuasaan pejabat di dalam administrasi pemerintahan”,menurut Kamus Bahasa Jerman 1813 : “Wewenang atau kekuasaan yang oleh berbagai departemen pemerintah dan cabang-cabangnya diperebutkan untuk diri mereka sendiri atas sesama warga negara”, menurut Kamus Bahasa Perancis   :“Pengaruh pemerintahan dan juga rezim yang di dalamnya biro menjadi berlipat ganda”.
Pada awal abad ke-19, Balzac berperan besar memasyarakatkan kata tersebut ke dalam bahasa Perancis dalam novelnya yang berjudul ”Les Employees” yang menceritakan tentang praktik birokrasi dengan nada yang kasar dan penuh ejekan.  Sementara di Jerman istilah ini dipopulerkan oleh Christian Krauss yang menunjuk praktik pemerintahan di Prussia sebagai sebuah aristokrasi terselubung yang memerintah negara secara terang terangan sebagai sebuah birokrasi.  Setelah orang Prussia dikalahkan oleh Napoleon, kemudian Humboldt  menuliskan tentang pelaksana dari pemerintahan yang disebut sebagai buralistenyaitu mereka yang sengaja digaji, yang berpengathuan dari buku, tidak beralasan untuk didukung dan tidak punya hak milik. Kutipan ini kemudian digunakan oleh Karl Heinzen yang menggantikan kata buralisten menjadi birokrat.
Johan Gorres adalah yang paling berjasa memasyarakatkan kata tersebut di Jerman. Tipologi klasik digunakan untuk mengembangkan teori yang mendasari kesatuan nasional. Unsur-unsur monarkis dan demokratis  digabungkan untuk mewujudkan kerjasama dan saling pengertian antara yang memerintah dan yang diperintah. Jika kondisi tersebut tidak terpenuhi maka birokrasilah hasilnya.  Birokrasi dikatakan sebagai bentuk pemerintahan yang di dalamnya kekuasaan ada di tangan pejabat bahkan birokrasi dipandang sebagai indikator keberadaan pejabat itu sendiri.  Istilah aristokrasi sendiri secara ekslusif mengacu kepada strata sosial tertentu bukan suatu bentuk pemerintahan sedangkan demokrasi dipandang sebagai bentuk kelembagaan yang dengannya keinginan rakyat dapat terwujud.
Teori Inggris:

1.  Literatur Inggris tentang birokrasi pada awalnya lebih banyak merupakan terjemahan dari literatur-literatur Jerman.
2. John Stuart Mill melihat birokrasi sebagai bentuk utama pemerintahan yang dibedakan dan dipertentangkan dengan monarki dan aristokrasi maupun demokrasi. Ia memberikan kritik konsep birokrasi model kontinental. Menurut Mill dominasi birokrasi yang sangat kuat merupakan penyebab rendahnya kualitas kehidupan politik negara kontinental. Rumusan Mill yang cukup penting adalah tentang pertentangan antara birokrasi dan demokrasi. Perbedaan keduanya adalah dalam hal letak pengambilan keputusan  dan kekuasaan yang sesungguhnya dan bukan pada seleksi formal calon pejabat.
3. Bagi sebagian besar ilmuan Inggris pada abad 19, terdapat kepercayaan bahwa konsep birokrasi sebenarnya berasal dari luar. Konsep tersebut juga dinilai tidak cocok untuk dikembangkan di Inggris yang lebih mengedepankan demokrasi. Namun demikian, gagasan ini ditentang oleh Ramsay Muir. Baginya, birokrasi adalah penyelenggaraan kekuasaan oleh administrator yang profesional, dan Inggris sudah menerapkan birokrasi selama tujuh puluh tahun.
Teori Kontinental

1. Di Jerman, gagasan tentang birokrasi sangat terkait dengan perubahan-perubahan radikal dalam teori dan praktek administrasi yang mengiringi kekalahan Prussia oleh Napoleon pada tahun 1806. Pada awal perkembangannya, gagasan birokrasi lebih didominasi oleh konsep collegium, suatu badan jabatan yang bertugas menasehati penguasa dan bertanggungjawab secara kolektif atas fungsi-fungsi tertentu dalam pemerintahan. Kelebihan dari bentuk koligial adalah terjadinya diskusi yang mendalam dari berbagai sudut pandang tetapi kelemahannya adalah inefisiensi waktu karena cenderung bertele-tele. Setelah tahun 1806, sistem koligial diganti dengan sistem  biro atau Einheitssystem. Pada sistem ini tanggungjawab individual lebih terjamin di mana sehingga bersifat lebih pasti, menyatu dan energik. Akibatnya adalah penyusunan dokumen dapat dilakukan lebih cepat dan menghemat biaya personal. Tetapi aspek lain yang mungkin muncul adalah bahaya administrasi terperangkap dalam keanehan-keanehan individu yang membentuknya. pada masing-masing pemegang kewenangan.
2. Penerapan sistem biro ini kemudian menuai berbagai kritik dari para ilmuan. Pertanggungan  berada pada pundak individu  masing-masing tingkat wewenang. Adapun fokus kritik tersebut adalah bahwa birokrasi sebagai sesuatu yang serba buruk. Birokrasi oleh mereka didefinisikan sebagai konsepsi yang jelek tentang tugas-tugas negara, yang dijalankan oleh sejumlah besar kelompok pejabat profesional.
3. Karl Heinz  memusatkan perhatian pada bentuk khusus  dari pengaturan administrasi Jerman dengan konsepsi awal birokrasi sebagai  suatu struktur organisasi di mana di dalamnya seorang pejabat tunggal mengontrol administrasi,  sebagai lawan dari struktur koligial yang di dalamnya pejabat bekerja di bawah seorang kepala tetapi memiliki partisipasi dalam pengambilan keputusan.  Tetapi pada perkembangannya,  pengertian tentang birokrasi ini diartikan lebih jauh menjadi pemerintahan para pejabat.
4. Von Mohl, Olwezky dan Le Play lebih berpedoman pada ketidak puasan rakyat terhadap pemerintah dan melihat esensi birokrasi sebagai hasrat para pegawai negeri yang digaji untuk selalu mencampuri orang.  Akibatnya sebagian besar ulasan dari Le Play lebih banyak memberikan penjelasan motivasional terhadap tingkah laku para pejabat.
C. RUMUSAN KLASIK
Mosca dan Michels
Pendapat Mosca berangkat dari kritiknya terhadap klasifikasi tradisional tentang pemerintahan yang mengkategorikan pemerintahan dalam demokrasi, aristokrasi atau monarki. Konsepnya tentang birokrasi dan ketidakpuasan nya terhadap tipe pemerintahan pola tradisional. Bagi Mosca, inti realitas dari sistem politik adalah kekuasaan, dan oleh karena itu ia kemudian menawarkan katagori baru yang didasarkan inti realitas tersebut. Katagori dimaksud adalah tipe feodal dan tipe birokratis.
Yang dimaksud dengan tipe feodal adalah bahwa dalam suatu pemerintahan, kelas yang berkuasa memiliki struktur yang sederhana. Setiap anggota misalnya menjalankan fungsi ekonomi, perundang-undangan atau militer. Masing-masing anggota dapat menjalankan wewenang secara langsung dan memiliki wewenang personal terhadap kelas yang dikuasainya. Sedangkan pada negara birokratis, fungsi-fungsi ini dipisahkan secara tajam dan menjadi kegiatan yang ekslusif dari bagian-bagian khusus kelas yang berkuasa. Di antara bagian-bagian tersebut ada satu kelompok, yang karena kehadirannya di suatu negara disebut sebagai birokratis. Porsi tertentu dari kekayaan nasional dialokasikan kepada suatu badan yang pejabat-pejabatnya digaji. Inilah yang disebut birokrasi.
Konsep Mosca kemudian dikembangkan oleh Michels. Namun tidak sekedar memperluas tesis Mosca bagi semua organisasi, ia bahkan menetapkannya menjadi suatu bentuk yang lebih deterministik. Ia sepakat dengan Mosca bahwa birokrasi adalah kebutuhan negara modern. Di dalam birokrasi, kelas-kelas yang secara politik dominan akan menjaga kedudukan mereka sedangkan kelas-kelas menengah yang tidak terjamin akan mencari jaminan dalam pekerjaan.  Hal lain yang patut digaris bawahi adalah bahasan Michels dan Mosca tentang konsep birokrasi sebagai suatu badan bagi pejabat yang digaji juga dapat dilihat sebagai bentuk penolakan atas pemikiran demokratis konstitusional.
D. PEMIKIRAN MAX WEBER

Warisan Weber yang mengulas acuan-asuan tentang birokrasi dapat dilihat dalam dua karya besarnya yaitu Witschaft und Gesselschaft. Sumber ketiga yang penting juga adalahParliament Government in the Newly-Organized Germany.
1.      TEORI  ORGANISASI
Dalam bukunya, beliau mengemukakan tentang Verband yang diterjemahkan sebagai “organisasi”  yaitu suatu tatanan hubungan-hubungan sosial, suatu pemeliharaan yang dengannya individu-individu tertentu memiliki tuga-tugas khusus. Oleh sebab itu keberadaan pimpinan organisasi menjadi suatu hal yang mutlak sehingga dapat dikatakan bahwa organisasi merupakan struktur yang bipartite atau tripartite.
Dalam menjalankan organisasi diperlukan keberasaan seperangkat peraturan yang bertujuan untuk mengarahkan setiap anggota organisasi sehingga menjadi acuan untuk menentukkan apakah perilaku tersebut bersifat organisasional atau tidak organisasional. Aturan-aturan ini disebut sebagai tatanan administrasi (verwaltungsordung). Satu komponen lain yang tidak kalah penting adalah keberadaan staf administrasi(verwaltungsstab) yang memiliki hubungan ganda dimana yang bersangkutan diharapkan untuk mematuhi semua tatanan yang ada tetapi di lain pihak memiliki tugas untuk memantau kesesuaian tingkah laku anggota lainnya terhadap tatanan tadi.  Aspek penting lainnya adalah masalah siapa yang memberi perintah dan kepada siapa perintah itu diberikan yang disebut Weber sebagai aspek ”koordinasi imperatif”. Hal ini melibatkan  instansi kekuasaan yang khusus yaitu otoritas. Disinilah kemudian Weber mengidentifikasi adanya jenis-jenis otoritas yaitu : Otoritas Kharismatik, Otoritas Tradisional dan Otoritas Legal.
1.      KONSEP BIROKRASI
Dari uraian Weber dalam tentang birokrasinya  dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan birokrasi adalah suatu badan administratif tentang pejabat ang diangkat. Seperti Mosca dan Michels, Weber juga memandang birokrasi sebagai hubungan kolektif bagi golongan pejabat, suatu kelompok tertentu dan berbeda yang pekerjaan dan pengaruhnya dapat dilihat di semua jenis organisasi. Selain itu, Weber juga menekankan ciri organisasional tertentu yaitu pada aspek prosedur pengangkatan pejabat tersebut. Ini berarti konsep Weber disamping terdapat gagasan kelompok tetapi juga gagasan tentang bentuk-bentuk tindakan yang berbeda. Hal ini menjadikan konsep Weber lebih penting dari tipe birokrasi yang paling rasional.
Pada saat Weber memandang birokrasi rasional, hal iitu dipandang sebagai bagian dari rasionalisasi dunia modern yang di dalamnya menuntu kejelasan dan ketepatan. Sesuai dengan teorinya, bahwa keyakinan dalam legitimasi adalah dasar bagi semua sistem otoritas maka berikut adalah 5 keyakinan yang saling berkaitan untuk suatu otoritas yang sah.
1.      Penegakkan peraturan dapat menuntut kepatuhan
2.      Hukum merupakan aturan yang abstrak yang diterapkan pada kasus tertentu sedangkan administrasi mengurus kepentingan organisasi dalam batas hukum.
3.      Manusia yang menjalankan otoritas juga mematuhi tatanan tsb.
4.      Hanya anggota yang taat yang benar-benar mematuhi hukum.
5.      Kepatuhan seharusnya tidak ditujukan kepada individu pemegang otoritas tetapi kepada tatanan impersonal yang menjaminnya menduduki jabatan tersebut.
Berdasarkan konsepsi legitimasi tersebut Weber merumuskan 8 proposisi tentang penyusunan sistem otoritas legal yaitu :
1.      Tugas-tugas diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan.
2.      Tugas-tugas dibagi ke dalam bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan fungsinya dan masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksi.
3.      Jabatan-jabatan disusun secara hirarkis disertai dengan rincian hak kontrol dan komplain.
4.      Aturan-aturan sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknik maupun legal sehingga diperlukan manusia yang terlatih.
5.      Anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota sebagai pribadi.
6.      Pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya.
7.      Administrasi berdasarkan dokumen tertulis sehingga cenderung menjadikan kantor sebagai pusat organisasi modern.
Staf administrasi birokratis sebagai  Birokrasi Rasional memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1.      Para anggota bersifat bebas secara pribadi (hanya melaksanakan tugas-tugas impersonal saja sesuai jabatannya).
2.      Terdapat hirarki jabatan yang jelas.
3.      Fungsi-fungsi pejabat ditentukan secara jelas.
4.      Pejabat diangkat berdasarkan kontrak.
5.      Pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional.
6.      Pejabat memperoleh gaji dilengkapi dengan pensiun.
7.      Pos jabatan adalah lapangan kerja pokok bagi pejabat.
8.      Struktur karir dan promosi atas dasar senioritas dan keahlian.
9.      Pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan jabatannya.
10.  Pejabat tunduk pada sistem kontrol yang seragam.

1.      BATASAN-BATASAN  BIROKRASI
Seperti sudah dikemukakan Weber tentang karakteristik birokrasi – keajegan, ketepatan, kesinambungan, disiplin, kekerasan – yang secara teknis menjadi memuaskan maka birokratisasi merupakan aspek lain di mana jika terjadi pertumbuhan dan perkembangan dari 10 ciri yang sudah disusunnya.  Catatan lain yang muncul sebagai bagian dari proses rasionalisasi tadi adalah bahwa  secara umum birokrasi rasional cenderung memisahkan manusai dari alat-alat produksi dan menumbuhkan formalisme dalam organisasi. Bahkan pengikutnya seperti Olwezky mengemukakan istilah birokratisme untuk mewakili segala  bentuk tindakan penyalahgunaan birokrasi.
Sekarang bagaimana Weber mengantisipasi dan mencegah kecenderungan yang melekat dalam birokrasi  yaitu akumulasi kekuasaan dari suatu kedudukan yang mengontrol kebijakan dan tindakan organisasi. Maka mekanisme untuk membatasi lingkup sistem otoritas pada umumnya dan birokrasi pada umumnya adalah sebagai berikut :
1.      Kolegialitas
2.      Pemisahan Kekuasaan
3.      Administrasi Amatir
4.      Demokrasi Langsung
5.      Representasi
Ada beberapa kritikan terhadap konsep Weber:
·         Merton : “Ketepatan dan keajegan  dalam administrasi dapat menyebabkan kegagalannya sendiri”.
·         Herbert Simon : “Situasi berbeda menuntut struktur administrasi yang berbeda”.
·         Talcott Parson : “The right man on the right place  tidak selalu terjadi sehingga menimbulkan konflik”.
·         Gouldner dan Francis & Stone : “Peraturan yang ada tidak serta merta diikuti oleh kepatuhan yang sesungguhnya”.
·         Reinhard Bendix : “Keterbatasan budaya rasionalitas dalam administrasi tentang dilema implementasi peraturan apakah bersifat rigid ataukah kontekstual”.
·         Blau : “ Pencapaian tujuan organisasi tergantung kepada perubahan terus menerus di dalam struktur birokrasi”.


E. BIROKRASI DAN KONTEKS IDEOLOGI

Ada tiga alasan konsep birokrasi dihubungkan dengan konteks ideologi:
1.         Sekalipun ideologi dirancang untuk mendorong agar manusia melakukan tindakan, namun tidak berarti bahwa substansi ideologi secara keseluruhan bersifat emosi. Bahkan ideologi modern mengakui bahwa ideologi didasarkan pada suatu pandangan yang obyektif tentang hakikat manusia dan masyarakat.
2.         sulit bagi setiap ilmuan sosial untuk menjauhkan seluruh jejak komitmen ideologis dari karyanya sendiri.
3.         kaum Marxis dan sebagian Fasis mengklaim bahwa tujuan setiap ideologi adalah menghapus perbedaan antara pemikiran ilmiah dan pemikiran ideologi
Karl Marx
Karya Marx tahun 1843 tentang Kritik des Hegelshen Staatrecht dipersepsikan bahwa analisis awal Marx terhadap birokrasi disesuaikan dengan interpretasi ekonominya terhadap politik. Gagasan Marx tentang birokrasi adalah kritik terhadap konsepsi Hegel tentang kekuasaan eksekutif suatu negara. Hegel mengembangkan pendapat bahwa negara adalah sarana untuk kepentingan umum, dan terpisah dari kepentingan individu. Hegel menunjukkan dua faktor penting yang menjamin agar tindakannya tidak melebihi batas kepentingan umum, yaitu otoritas hirarkis dan independensi korporasi dan komunitas lokal. Bagi Marx, Hegel dianggap terlalu menyederhanakan konsep birokrasi. Menurut Marx, birokrasi tidak hanya pada sistem hirarki administrasi melainkan juga pada badan-badan penasehat. Marx juga keberatan atas cara Hegel melihat hubungan masyarakat dan negara (negara mewakili kepentingan umum dan masyarakat mengejar kepentingan khusus). Menurut Marx konsep ini menyimpang, karena konsep tersebut hanyalah instrumen bagai para eksekutif untuk melindungi kepentingan khusus mereka sendiri.
Marx sependapat dengan Hegel mengenai birokrat adalah pilar utama suatu kelas menengah. Negara, menurut Marx, pada hakekatnya adalah alat dari kepentingan sekelompok orang tertentu yang ia sebut dengan borjuis, untuk menekan kelompok lain dalam rangka menjaga kepemilikian dan kepentingan mereka sendiri. Dalam konteks ini, peran birokrasi adalah pelengkap sebagai instrumen bagi kepentingan-kepentingan kelas. Revolusi merupakan cara yang dapat dilakukan untuk menghilangkan struktur.
Marx mempertegas bahwa di dalam suatu masyarakat yang tidak berkelas, tidak ada birokasi. Konsepsi Marx tentang birokrasi ini pada dasarnya jauh dari komplit. Marx tidak menguraikan lebih lanjut dalam teorinya tentang apa yang dimaksud dengan birokrasi sebagai pelengkap. Bahkan kemudian Marx tidak mau memberikan sebutan apapun pada birokrasi yang nyata-nyata ada dalam berbagai masyarakat, dan melayani kelas-kelas yang berbeda.

Marxis Akhir

Kurangnya tulisan-tulisan Marx tentang birokrasi berimplikasi pada kebingungan para pengikutnya dalam membangun bentuk negara pasca revolusi. Perdebatan diantara para pengikut Marxis kemudian tidak dapat dielakan ketika desain pemerintahan sosialis sudah harus segara dirumuskan dan roda pemerintahan dijalankan.
Lenin yang mencoba untuk menerapkan kosep Marxis dalam penyelenggaran negara. Namun demikian, berbeda dengan pendahulunya, Lenin menerima prinsip-prinsip birokrasi sebagai instrumen penyelenggaraan negara yang lebih terorganisir. Perdebatan Lenin dengan Rosa Luxemburg terjadi karena anggapan Luxemburg bahwa Lenin memperbudak gerakan buruh muda untuk menekan kaum elit intelektual dengan cara memperalat kedok birokrasi. Lenin berpegang melalui The State and the Revolution bahwa mesin negara yang lama harus dihancurkan dan perlunya kontrol pusat yang kuat sebagai suatu kediktatoran proletariat bersenjata. Lembaga perwakilan akan muncul, tetapi tidak sebagai parlementarianisme borjuis. Menurut Lenin, esensi birokrasi merupakan pribadi-pribadi yang diistimewakan, terpisah dari rakyat, dan menginjak rakyat.
Penerapan konsep Lenin ini kemudian menuai banyak kritik dari para pengikut marxis lainnya. Menurut para pengkritik, praktek penyelenggaraan pemerintahan sosialis benar-benar telah menumbuhkan birokrasi.
Kaum Fasis                                      
Ideologi kaum fasis bertentangan dengan marxis dalam hal penentuan aktor yang seharusnya memegang kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Ideologi ini kebanyakan merupakan koleksi gagasan yang bersifat ad hocyang dicomot demi alasan oportunistik. Bagi Mussolini, ”Bukanlah bangsa yang menghasilkan negara, melainkan negaralah yang menciptakan bangsa.” Mussolini memuji mesin negara (birokrasi) karena birokrasi memiliki prinsip-prinsip yang serupa dengan partai yang dibentuknya sendiri. Ia melihat birokrasi sebagai badan jabatan atau metode administrasi modern.
Konsep birokrasi sebagai alat negara yang tidak memihak dapat ditemui dalam pemikiran Fasis. Hitler misalnya, memerlukan suatu birokrasi sebagai alat tetapi juga sekutu politik yang siap mencampuri kehidupan nasional secara langsung untuk kepentingannya sendiri. Alasan kaum Nazi mendukung birokrasi karena mereka melihat bahwa di dalam birokrasi terdapat suatu kelompok elit yang tetap membantu mereka dalam menjalankan kekuasaan.
Perbedaan yang sangat mendasar dari marxis dan fasis adalah kedua faham ideologi ini, berimplikasi pula pada perbedaan pandangan keduanya terhadap konsep birokrasi. Birokrasi oleh Marxis selalu berkonotasi negatif, karena merupakan cerminan dari kekuatan kaum borjuis. Sedangkan bagi Fasis, birokrasi justru serba positif.
Para Ideolog Demokrasi Perwakilan
Di masyarakat barat, berkembang dua kelompok politik yang memiliki pemikiran diametrikal tentang birokrasi. Kelompok-kelompok politik tersebut adalah konservatif dan sosialis. Di Amerika dan Inggris, konservatisme dihubungkan dengan perlawanan terhadap campur tangan pemerintah. Mereka menyerang semua kegiatan yang disebut birokrasi. Birokrasi, menurut mereka, adalah proliferasi aturan-aturan atau kebalikannya, pemberian keleluasaan kepada pejabat, atau nasionalisasi, atau pejabat-pejabat yang berperilaku jelek atau kadang-kadang berperilaku sederhana seperti sosialisme. Menurut Luqwig von Mises, perusahaan swasta pun bisa menunjukkan  sifat-sifat birokratis.
Pandangan kaum konservatif terhadap birokrasi selalu negatif, pandangan ini meskipun mirip Marxis tetapi memiliki pijakan ideologi yang berbeda.  Mereka menolak birokrasi karena alasan untuk mengurangi campurtangan pemerintah terhadap aspek-aspek kehidupan yang semestinya menjadi wilayah aktivitas sektor private. Berbeda dengan pandangan konservatif ini.
Kaum sosialis justru menghendaki peran birokrasi yang cukup luas dalam masyarakat. Namun demikian mereka menolak bahwa peran negara tersebut sebagai campur tangan pemerintah, tetapi sebagai ciri-ciri negara modern. Richard Grossmann dalam Planning for Freedom menekankan perlunya kekuasaan yang bertanggungjawab, kebutuhan akan komite-komite di parlemen dan perlindungan konstitusional bagi warga secara individual.

F. TUJUH KONSEP MODERN TENTANG BIROKRASI
Jika suatu interpretasi terhadap konsep Weber dijalankan, maka akan muncul implikasi yang dapat dikategorikan sebagai berikut:
  1. Birokrasi sebagai organisasi rasional
  2. Birokrasi sebagai inefisiensi organisasi
  3. Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat
  4. Birokrasi sebagai Administrasi Negara
  5. Birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan oleh pejabat
  6. Birokrasi sebagai suatu organisasi
  7. Birokrasi sebagai masyarakat modern

G. BIROKRASI DAN TEORITISI DEMOKRASI
Perubahan konteks intelektual
Pada abad ke 19, sebagian besar akademisi menilai kontribusi negatif birokrasi terhadap perkembangan demokrasi. Penyebabnya, sebagian besar teori konvensional lebih mengelaborasi fungsi antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif tanpa memberi perhatian pada pejabat di dalamnya. Posisi pejabat hanyalah sebagai pelengkap. Kriteria yang kemudian digunakan dalam ranah demokrasi seperti akuntabilitas, tanggungjawab, kepekaan, dam perwakilan, jelas harus dijadikan standar oleh pegawai negara yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.
Banyak masalah di seputar birokrasi dalam konsep demokrasi dan oleh karenanya solusi perbaikan demokrasi adalah perbaikan terhadap konsep birokrasi. Dalam perkembangan kemudian, persepsi lama tersebut dianggap telah usang, karena dinilai memiliki kesalahan yang mendasar dalam menarik kesimpulan akan hubungan antara kedua konsep yang dibahas tersebut. Bagi kelompok ilmuan pada generasi yang lebih baru, kritik terhadap birokrasi yang dilakukan para ilmuan sebelumnya mestinya diarahkan hanya untuk birokrat yang berperilaku negatif saja, bukan keseluruhan konsep birokrasi. Adapun birokrasi adalah konsep yang netral dan pengaruh yang diberikannya terhadap demokrasi adalah bersumber dari para pejabatnya.
Diagnosis dan Upaya memperbaiki Penyakit Birokrasi
Untuk melakukan diagnosis terhadap birokrasi, Albrow memulai asumsinya dengan pernyataan: ”Apakah tindakan pejabat-pejabat negara dianggap sebagai birokasi tergantung dari bagaimana nilai-nilai demokrasi itu ditafsirkan dan yang mana di antara tafsiran tersebut yang dipandang salah, karena dalam setiap tafsir demokrasi terdapat suatu gagasan yang berkaitan dengan birokrasi.”
Albrow membedakan tiga posisi dasar tentang fungsi-fungsi pejabat di negara demokrasi, yaitu:
  1. Pejabat menuntut kekuasaan terlalu besar dan perlu dikembalikan pada fungsinya semula.
  2. Pejabat benar-benar memiliki kekuasaan dan ketika tugas semakin besar maka jabatan harus dijalankan secara bijaksana
  3. bahwa kekuasaan diperlukan oleh  para pejabat dan yang harus dicari adalah metode-metode yang relevan digunakan untuk melaksanaan pelayanan
Kondisi pertama menurut Albrow adalah kondisi yang lebih dekat dengan keprihatinan abad ke-19 dan lebih populer di kalangan para yuridis (ahli hukum). Kondisi kedua adalah kondisi paling ortodoks, dan kondisi ketiga adalah yang paling radikal.
Berdasarkan kasus ini, jelas masalah birokrasi akan timbul ketika pejabat gagal memahami  atau menanggapi kebutuhan umum. Hal ini dapat terjadi ketika prosedur pengawasan formal ditutup secara rapat. Pengawasan formal diperlukan bagi individu agar memiliki otonomi personal dan kebebasan dalam mengambil keputusan.  Menurut Albrow, komitmen pejabat terhadap nilai-nilai demokrasi adalah suatu benteng pengamanan yang lebih penting daripada sistem kontrol. Untuk mencapai ini diperlukan adanya metode yang menekankan padakompetensi profesional dan kebijakan rekrutmen yang menjamin dimilikinya orang yang disenangi oleh semua golongan masyarakat. Profesionalisme dan keterwakilan diharapkan meningkatkan kepercayaan politik (publik), sehingga pada akhirnya mengurangi friksi dengan publik dan memperkuat keyakinan publik. Sementara terkait dengan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, maka yang diperlukan pejabat adalah kepekaan terhadap suara rakyat. Menurut Friedrich, kepekaan ini justru lebih penting daripada internalisasi nilai-nilai demokrasi pada para pejabat.
Walaupun pejabat publik lebih bersifat aristokrat paternalistik, namun ditegaskan Albrow bahwa publik itu memiliki suara. Walaupun menurut John Stuart Mill berpendapat adanya konflik antara birokasi dan demokrasi perwakilan, namun dengan adanya penguatan tindakan politik akan menjamin kekuasaan tindakan lebih terorganisir di dalam masyarakat.

H. TINJAUAN KRITIS
Relevansi dengan Indonesia
Buku ”Bureaucracy” karya Martin Albrow memuat berbagai teori tentang birokrasi yang dinarasikannya dengan pola ”diskusi antar teori”. Dengan kekayaan teori ini, buku tersebut menjadi sangat menarik dan relevan sebagai dasar referensi teori untuk menganalisis birokrasi di Indonesia. Jika melihat pemerintahan di Indonesia berdasarkan teori-teori yang ada dalam karya Albrow ini, dapat ditarik benang merah antara konsep birokrasi Weber dan birokrasi di Indonesia, bahwa birokrasi yang dikembangkan di Indonesia lebih merupakan cerminan dari birokrasi Weber. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya sejumlah karakteristik dari birokrasi Weber dalam birokrasi di Indonesia tersebut.  Namun demikian, dalam pelaksanaannya, masih banyak dari karakter birokrasi yang ada belum sesuai dengan prinsip-prinsip birokrasi Weber
Sumbangan atas Teori Organisasi  
1.  Keunggulan utama dari karya Martin Albrow ini justru adalah kemampuannya untuk mengungkapkan berbagai perspektif tentang birokrasi, yang semuanya diramu dalam bentuk dialog antar perspektif. Bagi pendatang baru dalam bidang ini, buku ini sangat membantu dalam memahami birokrasi. Namun, jika membaca sekilas akan terkesan, Albrow tidak menampilkan pemikiran baru karena hanya berusaha meramu dari berbagai sumber saja.
2.  Pemikiran baru yang dikemukakan Albrow pun terlihat hanya mempertegas dan memperdalam pemikiran Weber, terutama apa yang diungkapkan dalam tujuh konsep modern mengenai birokrasi.
3.  Meskipun buku ini dapat dikategorikan sebagai buku klasik, namun isinya masih relevan untuk melihat pergulatan antar teori tersebut pada masa sekarang.

KEPUSTAKAAN
Martin Albrow, Bureaucracy, 1970, London: the MacMillan Press, Ltd.